Total Tayangan

Kamis, 06 Desember 2018

Asuransi Syariah

Asuransi adalah serapan dari kata assurantie yang berarti meyakinkan orang. Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mmungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.[1]
 Dalam literatur arab asuransi dikenal dengan sebutan “at-takaful” dimana secara literal berarti pertanggunan yang berbalasan atau hal saling menanggung. Selain itu juga disebut dengan at-ta’min yang berarti tenang dalam arti ketenangan jiwa dan hilangnya rasa takut. Menurut Isa Abduh yang dimaksud at-ta’min yaitu usaha (ekonomi) yang diperoleh melalui kesepakatan antara dua pihak yakni tertanggung (al-mu’amman) yang menyerahkan sejumlah uang kepada penanggung (al-mu’ammin) untuk kemaslahatan orang [2]lain, sesuai dengan perjanjian yang menghendaki adanya penyerahan (penggantian) dana tatkala nyata-nyata terjadi bahaya pada tertanggung.
 Adapun asuransi syariah harus dalam prinsip umum syariah yang sesuai dengan Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001:
  1. Asuransi Syariah (ta’min, takaful atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak  melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang menberikan pola pengembalian untuk mengahadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah;
  2. Akad yang sesuai syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm(penganiayaan), risywah(suap), barang haram dan maksiat;
  3. Akad  tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial;
  4. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikandan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersial;
  5. Premi adalah kewajiban peserta asuransi untuk memberikan sejumlah dana  kepada perusahaan asuransi sesuai kesepakatan dalam akad;
  6. Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
DASAR HUKUM
  • Perintah Allah untuk mempersiapkan hari depan (Q.s al-Hasyr:18)
“hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui yang kamu kerjakan”
  • Hadits tentang anjuran menghilangkan kesulitan seseorang
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, Nabi Muhammad bersabda: “baarangsiapa yang menghilangkan kesulitan duniawinya seorang mukmin, maka Allah SWT. Akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat. Barangsiapa yang mempermudah kesulitan seseorang maka Allah akan mempermudah urusannya di dunia dan di akhirat.”
            Dalam hukum positif yang menjadi dasar hukum dalam asuransi syariah adalah UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang masih bersifat global. Sedangkan, dalam menjalankan usahanya secara syariah, perusahaan asuransi dan reasuransi syariah menggunakan pedoman fatwa DSN MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum  asuransi syariah. oleh karena fatwa DSN tersebut tidak memiliki kekuatan hukum maka dibentauk peraturan perundangan oleh pemerintah yang berkaitan dengan asuransi syariah.[3]
SEJARAH ASURANSI SYARIAH
            Praktik asuransi dalam islam sudah diprakrikkan sejak masa Nabi Yusuf saat menafsirkan mimpi dari raja Fir’aun yang menyarankan agar menyisihkan sebagian dari hasil panen pada masa tujuh tahun pertama. Sedangkan pada masyarakat Arab sudah terdapat sistem ‘aqilah yang merupakan cara penutupan dari keluarga pembunuh terhadap keluarga korban (yang terbunuh). Kemudian, kebiasaan ini berkembang pada masa Nabi sesuai hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari. Mengenai praktik ‘aqilah Nabi Muhammad SAW memuat ketentuan dalam pasal 3 yang isinya “ Orang Quraisy yang melakukan perpindahan (ke Madinah) melakukan pertanggungan bersama dan akan saling bekerja sama membayar uang darah diantara mereka. Pada abad ke-20 dibeberapa negara Timur Tengah dan Afrika telah mencoba mempraktikkan asuransi dalam bentuk takaful.
TUJUAN BERDIRINYA ASURANSI SYARIAH
ü  Tolong-menolong dan bekerja sama, kekayaan yang dimiliki sebagai karunia Allah Swt hendaknya berfungsi social, terutama membebaskan orang dari penderitaan dan ketergantungan. Saling tolong dan bekerja sama merupakan salah satu sifat terpuji dan sangat dianjurkan oleh Swt.
ü  Saling menjaga keselamatan dan keamanan, kehendak untuk selamat dan aman dalam hidup merupakan naluri kemanusiaan. Ajaran islam menganjurkan agar manusia berupaya menjadikan dunia bebas dari bahaya ketakutan. Niat ikhlas karena Allah untuk membantu sesama yang mengalami penderitaan merupakan landasan awal asuransi islam. Premi yang dibayarkan kepada asuransi syariah harus didasarkan pada kerjasama dan tolong-menolong sesuai dengan perintah Allah untuk memperoleh ridha-Nya.
ü  Saling bertanggung jawab, islam mengajarkan manusia agar menghilangkan sikap mementingkan diri sendiri. Rasa tannggung jawab merupakan factor yang mempererat rasa persatuan dan persaudaraan sesame manusia.
ü  Menjadi grup asuransi terkemuka yang menawarkan jasa Takaful dan keuangan syariah yang komprehensif dengan jangkauan signifikan di seluruh Indonesia menjelang tahun 2011.
 Bertekad memberikan solusi dan pelayanan terbaik dalam perencanaan keuangan dan pengelolaan risiko bagi umat dengan menawarkan jasa Takaful dan keuangan syariah yang dikelola secara profesional, adil, tulus dan amanah.

[1] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992, Tentang Usaha Perasuransian.
[2] Ibid, dalam M, Amin Suma, Asuransi Syariah dan asuransi konvensional “ teori, sistem,aplikasi, dan pemasaran”, h.41.
[3] Widyaningsih, et al, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005, hal 204.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar